Mungkinkah aku?
Kata belajar sudah biasa aku ucapkan dihadapan,Faatih anakku. Sejak pembelajaran dengan sistem daring, kata sakti satu ini kerap menjadi sumber keributan kami.
Anakku yang baru saja menikmati aktivitas sekolah di taman kanak-kanak , harus menelan kecewa sebab pemerintah mencanangkan pembelajaran di rumah. Jadilah, ia harus kehilangan kebersamaan dan keceriaannya di sekolah bersama guru dan teman- temannya. Oh, iya...Faatih, anak tunggal kami, di rumah ia hanya berdua denganku bila abinya harus bekerja. Di sekolah, ia bisa bertemu banyak teman dan guru yang menjadi kebahagiaan baru baginya.
Beberapa pembiasaan di sekolah membuat ia bersemangat ke sekolah. Anakku tipe anak yang senang berada diantara orang banyak dan bersemangat apabila disuruh tampil dihadapan banyak orang.
Sejak daring, seolah kebahagiaan itu direnggut darinya. Jadilah kami, pasangan ibu dan anak yang terlibat aktif dalam pembelajaran dengan metode daring. Awalnya seolah tak ada masalah, tetapi rasa bosan akhirnya menghampiri. Karena metode daring sudah dinikmatinya dari TK, sekarang sudah duduk di kelas 2 SD. Sehingga kata belajar, tak lagi tereja dengan lembut dan syahdu. Kata belajar, dengan semua materi dan tugas yang harus disetor tidak terasa manis lagi bagi kami.
Sering aku nasihati anakku, betapa pentingnya kata belajar dan betapa belajar butuh ketekunan, kesabaran dan ketelitian. Seolah, aku merasa sudah tuntas dalam memaknai kata belajar.
Hingga kemudian aku tergoda. Aku tergoda oleh dunia baru yang ingin aku arungi,bersama orang-orang hebat yang sama sekali tak ku kenal. Namun, aku yakin mereka orang hebat yang siap membagi ilmu dan pengalamannya.
Aku merasakan gairah baru itu. Aku merasakan seolah mimpi yang akan menjadi nyata, menjadi bagian dari komunitas literasi. Tulisanku yang tak seberapa ini akan dibaca dan dikomentari orang lain. Dan itu, amazing.
Banyak rasa berkecamuk, diusia menjelang manula,aku merasa kembali remaja. Terbayang, bagaimana dulu aku menulis buku harian ku, dan buku itu kusimpan jauh jauh agar tak terbaca orang lain.
Tapi kali ini, dengan berani aku membiarkan orang membaca curahan hatiku. Duh...deg deg an iya...masa enggak. Mereka yang terbiasa dengan karya penulis terlatih dan berpengalaman akan membaca tulisanku?
Aku pun mencoba berani...rasanya seperti mau ketemu gebetan di kantin sekolah.
Ketika tulisan selesai, ternyata satu masalah besar menghadang,harus punya blog....oh...apa itu blog, gimana buatnya,gimana biar tulisan kita bisa tersimpan di blog, gimana biar kita tahu komentar seseorang yang ditulis di blog kita, bisa kita baca. Bertubi tanya dan cemas bergayut di ujung jemari.
Alhasil, dari Sabtu pagi, kembali aku coba utak Atik ini,blog. Dan ternyata masih jauh dari kata baik...aku ngak mau pakai kata sempurna,karena memang belum ada apa- apanya.
Kembali aku teringat, nyanyian yang kerap ku dendangkan pada anakku,belajar itu harus tekun, teliti dan penuh kesabaran. Sewaktu aku senandung kan lagu itu, aku merasa tuntas memaknainya. Tapi dihadapan kata baru,blog, ternyata aku harus remedial lagi.
Faatih, maafkan Umi, menasihati Faatih rasanya mudah banget, tapi sekarang Umi harus menerima kenyataan, belajar itu harus tekun, teliti dan penuh kesabaran....semoga Umi bisa, sayang, sekarang Umi mau belajar lagi ya.
Tulisannya sangat menginspirasi ni....
BalasHapusBelajar memang hal yang harus dilakukan setiap saat tanpa mengenal waktu selain bernapas wkwk....
Semangat terus bu Susi !!! Ditunggu karya2 selanjutnya....
Terimakasih Raveli...iya akan terus semangat.
HapusYang jelas Bun,baik bunda atau Susan walau SDH tua memang kita hsrus selalu belajar....,semoga ini jd amalan sampai hari akhir..., Keren tulisan nya Bun ..
BalasHapusAlhamdulillah....banyak bersyukur...semoga kita bisa sampai buat buku solo ya....
HapusFatih akan jadi anak hebat seperti uminya Bu Susi
BalasHapusAamiin....terimakasih, Pak
HapusMenikmati goresan pena. Mengalir
BalasHapusTerima kasih,Bu Herlin.
HapusGoresan pena yang cantik
BalasHapusTerimakasih, bunda
Hapus