Mati Gaya? Ngak Koq!

Masih belum terlalu siang untuk tidak berkata masih pagi, udara terasa begitu sumringah. Sinar mentari mulai terasa gigitnya di kulit. Sedang riak dedaunan meliuk manja bersama buai semilir angin bulan Juni nan manis.

Untuk satu keperluan sedang kereta mesin telah duluan ditunggangi suami, memaksa diri ambil satu keputusan miris, jalan kaki. Sebuah mini market menjadi tujuan hati. Mau tidak mau, warung terlalu jauh untuk didatangi, sedang ada pilihan yang jauh lebih dekat dalam hitungan jarak, minimarket.

Lalu, kudapati hatiku menyemangati diri. Telah terlalu lama ngak jalan kaki disaat jalanan berpesta, banyak orang keluar rumah dengan rupa rupa kepentingannya. Jadi diri,yuk kuatkan tekad untuk arungi jalanan untuk dapatkan apa yang diperlukan saat ini.

Celana hitam, baju panjang biru muda dan jilbab biru Dongker plus sandal jepit aiger menjadi pilihan fashion pagi ini. Berusaha untuk tidak mencolok, berusaha untuk tidak menarik perhatian. 

Setelah berpamitan pada ibu di rumah, ku mulai jelajahi jalanan dengan mengayunkan ke dua kaki ku. Di daerahku ,budaya jalan kaki sepertinya mulai kurang digemari. Orang kerap malas untuk jalan kaki selain untuk tujuan olah raga. 

Kendaraan yang mereka punya di rumah, memang tak mengizinkan untuk mereka jalan kaki. Apabila tak berkendaraan, tukang ojek nan ramah berhamburan di jalanan. Jadi, memang terlihat sedikit aneh bila ada seseorang yang memutuskan melenggang di jalanan sedang tak ada benda yang ditenteng atau dibawa untuk diperjualkan.

Karena memang belum terlalu mengenal seluk beluk jalan tikus di sekitarku, aku tersesat. Olala...ayunan langkah ku membawaku pada rerimbunan semak yang tadinya kuyakini jalan keluar. Bertanya? Enggak dong, gengsi rasanya kalau orang tahu aku tersesat, bisa jelek banget reputasi orientasi medan ku. Sedang aku cukup dikenal di lingkungan ini. 

Balik kanan langkah pasti, kususuri jalan alternatif kedua, dan benar saja sapaan riang tetanggaku menjadi pertanda itu jalan yang benar. Undangan untuk mampir ke rumahnya ku tolak. Termasuk pertanyaan, "Kog, jalan kaki," ku jawab dengan riang, " mau olah raga."

Kudapati diriku telah berada di jalan raya, benar saja. Aku disambut oleh riuhnya jalan raya. 
Ibarat pesta kecil pagi, nyaman pagi telah berhamburan menyurukkan diri entah kemana. Sejuk sisa embun berganti dengan sengat mentari, hadiahkan silau di mata. Suara mesin kendaraan, sesekali knalpot dan bunyi klakson bertabuh tak harmonis.

Sesaat aku terpesona, meski tak asyik ntuk dinikmati dari kaca romantis tapi ini pemandangan yang jarang bisa kunikmati intim seperti saat ini. Sebab biasanya ia kunikmati dari kendaraan ataupun motorku. Tapi saat ini, aku merasakan pelukan sekitarku memang ngak hangat atau romantis, tapi tak ku pungkiri, aku suka.

Nah...ini sensasi berikut yang masih sisakan geli di hatiku. Ayunan langkahku bersambut dengan banyak wajah dan anggukan kepala. Meski wajah gusar dan penasaran pun terlihat dimata pengguna jalan. Wajah ramah itu milik para tukang ojek yang tak bosan menawari tumpangan untuk ku menuju tujuanku.

Seolah sedang menjadi pusat perhatian mereka, dan akupun melambaikan tangan dan menggeleng menolak dengan halus tawaran mereka. Aku tidak tahu pasti, tujuan mereka murni menawarkan tumpangan kepada ku atau kasihan padaku.

Dalam ayun ringan langkahku, yang ku tahu aku harus fokus di lintasan hitam meski kadang menjebakku dengan serak krikilnya. Aku tak boleh terpeleset atau terjatuh. Kalau itu terjadi, sungguh saat itu aku akan menjadi primadona jalanan sungguhan, bisik hatikku kejam.

Aku tetap fokus pada jalanan, meski sesekali aku mencuri tatap melihat orang yang seolah mencari tahu sebab aku nekad jalan kaki dikeramaian jalan sedang tukang ojek nyaris tak bosan menawarkan tumpangan nya. Begitu juga tatap pengguna jalan yang seolah mencoba berempati pada keputusanku, untuk tetap mengayunkan langkah,perlahan tapi pasti. Tak canggung tapi percaya diri...aku banget rasanya.

Jauhnya jarak yang harus aku tempuh membuat percaya diriku goyah. Aku dapati diriku mati gaya, dalam ayun langkahku.
Tidak ada yang digenggem, tak ada yang dibawa membuat pertahanan sukaku pada keintiman ini terkhianati. Sedangkan, aku seolah menjadi perhatian orang yang lalu lalang.

Ahai...diriku, jangan lama lama mati gaya ah. Luruskan pandangan ke depan, kita ngobrol. Itu yang kemudian kulakukan sembari menanti jarak yang semakin dekat dengan minimarket tujuanku.

Akhirnya sampai, aku menang!

Semua yang kuinginkan kudapatkan. Berputar sejenak, sekedar nikmati suasana di ruang sejuk berpendingin  udara. Beberapa barang yang tak kubutuhkan menari, membujuk untuk kubawa pulang, tapi ia aku abaikan. Emang enak cuma ditatap mesra, disentuh lembut tapi ditinggalin, imajinasi nakalku cukup hempaskan gerahku. 

Mini market ini pun terasa nyaman untuk kunikmati suasananya. Sejuk, wangi dan tentu saja sepi...ini obat gerah dan lelahku.

Setelah memastikan semua yang aku butuhkan telah mulai akrab di keranjang. Aku menuju kasir untuk menukarnya dengan Indonesia Rupiah yang kupunya. Done, kita sepakat, kau jadi milikku. Menemaniku untuk jalan kaki lagi sampai rumah.

Mereka sepakat dengan pernyataan ku. Berada dalam kantong plastik, mereka janji untuk tidak bertengkar atau melompat dan jalan sendiri ke rumahku.

Yuk lagi, kita nikmati sensasi perjalanan balik. Dengan sapa dan tawaran tukang ojek, dengan pengendara yang menatapku simpati juga dengan curi tatap orang yang mencoba mencari jawab,koq maunya sih jalan kaki di udara yang ngak seksi kayak gini?

Biarlah...tak perlu ku hirau, aku jelaskan pun mereka ngak mau ngerti juga. Aku suka gaes, ini caraku menikmati keputusanku untuk jalan kaki, membelah jalan yang kutahu semakin siang semakin ramai. 

Dan yang pasti aku tahu tips jitu untuk ngak mati gaya lagi. Aku punya kantong belanjaan yang ku tenteng kan, dan aku punya....semangat untuk cepat sampai rumah, sinar mataharinya mulai nakal banget.....!

Mau coba, seperti yang kulakukan ini?

(Kayu Agung, 13 Juni 2022, diantara angin yang berkejaran dengan baling-baling...katanya mengusir udara panas, tapi justru buat kulitku semriwing gerah)

Komentar

  1. Nyampe rumah langsung ambil sirup selasih kaya kemaren ya Bu Aah segar melewati tenggorokan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul segelas air obatnya...tuntas gerahnya hehe ..

      Hapus
  2. Aku lebih suka jalan kaki, tapi udahnya harus ada yg pijitin 😂

    BalasHapus
  3. Terkadang merasa kepedean yah uni, serasa ada yang perhatiin, padahal nggak da sama sekali 😄

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haha....bukan kepedean, sbb kadang kita butuh semangat dr dalam utk menetralisir si mati gaya tadi. Tp beneran lho,zaman skrng org suka iba jl liat org jalan kaki, pasti ada apa apanya ini, hehehe...kepedean itu ya?

      Hapus
  4. Luar biasa tulisan Bu Bu Bu ,jangan sampe salah lagi yah Bu Susi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah...akhirnya, bener Pak...saya, Susi. Terimakasih Pak Rus.

      Hapus
  5. Waw, jalan kaki alternatif indah buat menampakkan kalau kita bisa, tanpa dia si motor atau speda

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul Bun...dibaluri sedikit rasa pede....pasti tetep oke meski jalan kaki....heheh

      Hapus
  6. Panas, gerah saat disapa sang mentari

    BalasHapus
    Balasan
    1. Plus...nakal lagi, kl org yg putih kulitnya memerah nah...kalau sawo Mateng? Jadi tambah manis saya...hehe

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

selamat pagi

Menulislah, karena engkau berharga

Ketika Tidak menjadi Iya Plus Bonus dariNya