Satu Episode Pagi
Tiba-tiba aroma hangat secangkir kopi menjadi pertanda bahwa waktu milikku sekarang. Tak ada lagi keriuhan, tak ada pekik nyaring anakku dan ketergesa-gesaan suamiku.
Atmosfer ku lengang dan dihadapanku secangkir kopi hangat dengan liuk asap putihnya menjadi pertanda, waktu ini adalah milikku. Aku nikmati harum kopi dan harum udara pagi dengan penuh rasa syukur.
Seolah siaga satu,lengkap dengan sirine dan keriuhan di sekitar, suasana pagi kurasakan hingar bingar. Di saat anandaku bangun tidur, rayuku dan rengekan manjanya menjadi pertanda hari baru dimulai.
Seorang anak laki-laki butuh waktu tidur lebih lama, itu kata penelitian, tapi apakah memang butuh waktu agak lama untuk seorang anak laki-laki bangun tidur? Belum sempat kucari penelitian tentang itu. Yang kutahu, memang agak butuh rayuan panjang bagiku bangunkan jagoan kecilku ini.
Ia butuh waktu untuk "ngumpulin nyawa" dan keluar dari kamarnya. Setelah bangun maka pilihannya segera sholat subuh atau mandi dulu. Itupun masih perlu waktu memutuskannya dan disambut rayuan kelapa dariku.
Urusan mandi, seragam dan sarapan kerap hadirkan riuh reda yang kadang buat ku geli kadang juga memancing emosi. Check kebersihan selalu ku lakukan. Istilah check penanda bahwa syarat dan ketentuan telah ia penuhi dari satu aktivitas pentingnya.
Jadi bila ia selesai mandi maka aku akan mengajukan beberapa kalimat check dan disambut jawaban check bila telah dilakukannya. "Ummi, Faatih sudah mandi!", Ujar anandaku dengan riang. Maka akan Kujawab dengan, "Shampo check, sabun check, sikat gigi check, badan keset, ngak licin check," bila telah ia penuhi maka ia akan menjawab...,"Semua check!" Maka ia boleh meneruskan ke kegiatan selanjutnya, mengenakan seragam sekolahnya.
Waktu terus berjalan sedang ia masih dengan pernak pernik repotnya sendiri.
Kadang sambil sarapan, sambil mengenakan kaos kaki, itu juga disambi ngecek isi tasnya apakah semua perlengkapan sekolah siap atau masih ada yang tercecer.
Belum lagi, bekal untuk sekolah yang masih menjadi bahan adu argumennya kami. Alhasil, kerap terjadi bekal yang telah tidur manis dalam kotak bekalnya harus mengalah karena ia ingin jajan di sekolah ataupun menggantinya dengan roti dan susu UHT khas minimarket.
Urusan anak selesai, suami yang telah siap di meja makan untuk sarapan pun ternyata masih minta diperhatikan oleh si emak yang udah mulai ngegas melihat ulah anaknya. "Mi...gula di kopi Abi kurang dikit, tambah dong." Atau, "Mi, kaos kaki kemaren dah dimasukin ke mesin cuci, ambilin kaos kaki baru dong." Dan beragam kebutuhan lainnya yang harus membuat si emak muter-muter mencari apa yang dibutuhkannya.
Setelah sarapan siap, pakaian dan seragam oke dikenakan. Check terakhir dilakukan, "Faatih...air minum check, kotak bekal check, kotak pensil check, buku dan semangat check," lalu anakku akan segera menjawab, "Semua check...semua siap Ummi," suara lengkingnya pertanda ia memang sudah siap ke sekolah.
"Abi, HP check, dompet check, laptop di tas check, masker check!" hal yang sama pun kulakukan pada suamiku. Setelah memastikan semua check...artinya oke maka motor segera dinyalakan dan mereka siap....,"Eh..Ummi, ada yang lupa...ambilin masker Mi, lupa....," Kejut suamiku dibalik helmnya.
Itu artinya, aku harus balik kanan, untuk segera mengambilkan masker dan segera kembali ke teras rumah untuk mengantar mereka ke tempatnya masing-masing. Gerutu kecilku kerap disambut dengan gurauannya, "Tolongin sekali lagi, Mi...!"
" Ummi... surat Al-Fatihanya mana," ujar anakku dibalik maskernya. Maka dengan tatap teduh ku bisikkan lembut surat Al-Fatihah untuk anakku, seraya mencium kepalanya. " Kami berangkat Ummi, dada..."
Suasana yang ramai dengan semua pernak pernik pagi yang terkadang memancing nada tinggi membuat pagiku terasa begitu cepat berlalu. Mentari menjadi pertanda bahwa halimun yang tersisa tinggal sedikit.
Kini, ketika Faatih sekolah dan suami ke kantor, tetiba rasa sepi menyergap. Kehadiran mereka yang membuat pagiku sibuk tapi selalu hadirkan ceria dihatiku.
Sedang kini, disaat aku sendirian dirumah pelukan hening membuatku merindukan mereka segera pulang dan memulai keriuhan lagi.
Kubiarkan peralatan sarapan masih berserakan di meja makan. Ku biarkan letak kursi yang tak beraturan. Aku ingin menikmati rasa rindu yang tetiba mendera pada mereka yang kusayang.
Kicau burung, lembutnya angin pagi, dan hangat sinar mentari yang mencuri tatap disela dedaunan membuatku ingin menikmatinya semua ini dulu.
Itu menghantarkanku pada secangkir kopi dipangkuan, dan nikmati pagi dalam diam yang menyamankan. Apabila rindu itu bisa semanis ini, mengapa tidak kubiarkan hati menikmati pesonanya.
Telah lama kuganti seragam keren ku, juga wewangian yang tak pernah absen temani hariku dengan daster sederhana dan aroma detergent tapi ternyata justru keberadaan ini membuatku nyaman dan dibutuhkan setiap saat oleh mereka. Iya mereka, orang yang begitu mencintai dan menyayangiku dan juga begitu kusayang dan kucintai.
Selamat tinggal pagi yang menyamankan, selamat datang siang yang menghangatkan, tapi esok janji ya, kita nikmati keseruan ini lagi, dengan cinta dan kasih sayangNya.
(Kayu Agung, 16 Juni 2022,
Ditingkahi mesin pemotong rumput tetangga, meski bising, tapi terasa ngak berisik)
Keren Bu Susi cerpennya (Guru Dion Indonesia)
BalasHapusTerimakasih Pak Dion
HapusManiisnyaa suasana surga kecil dipagi hari.
BalasHapusTerimakasih Bu Ovi...
HapusSuasana pagi yang kadang dirindukan. Emak-emak memang rempong jika pagi. Insyaallah membawa keberkahan. Aamiin. Salam literasi Bu
BalasHapusBenar sekali bunda, rempongnya pagi hanya emak yang bisa kendalikan...salam literasi bunda
HapusHidup itu pilihan, bila bahagia SDH di capai, mari di nikmati
BalasHapusBenar....
HapusRutinitas harian sibuk di dapur 🥰
BalasHapusHehe...tau aja, hiburan ke pasar.
HapusMantap bunda, hidup itu pilihan, kita nikmati pilihan yang membuat kita bahagia
BalasHapus