Seandainya saat itu ada dia...


Siang ini, udara terik sekali. Angin yang biasanya kerap bercengkrama dengan dedaunan seolah malas bergerak. Pohon akasia berdiri mematung, rerumputan yang berada di bawahnya pun seolah tak mampu hadirkan liukan gemulai penanda ada kesegaran canda oleh ulah angin nakal.

Sinar mentari terik, hadirkan hening isyaratkan para burung dan serangga pun jengah ntuk sekedar memulai permainan. Mereka tentu lebih nyaman berada diantar dedaunan rimbun seraya nikmati sedap mentari atau direlung tanah yang lembab dan harum.

Hanya kesejukan yang menjadi tujuan, meski mager, istilah sekarang, berburu kesejukan tentu hal yang paling mungkin untuk dilakukan saat ini. Segelas air dingin dengan beberapa butiran kristalisasi air yang telah dibekukan menjadi pertanda bahwa...udara panas akan segera hengkang dari tenggorokan.
Lalu, pandangan bersirobok mesra pada sebotol sirup yang bercita rasa melon. Warnanya hijau, dengan tekstur yang kental, wangi, ada kilau manja disana dan tentu manis. Hhhmmm...bila mereka jadian di gelas yang mulai berembun ini tentu amunisi pengusir gerah menjadi sempurna, tak terkalahkan.

Segelas sirup dingin berperisa melon segar hadir di depan mata. Seisi rumah yang menyerah pada lelah yang berbalut gerah merasa lebih nyaman di kamarnya masing-masing, sempurna. Nikmati terik siang, dengan segela sirup dingin, tanpa ada yang akan merobek atmosfer nyaman ini.

Tapi... wait ada sesuatu yang bermain di benak. Sebuah kejadian yang terasa masih segar diingatan meski ia telah berselang lebih dari dua dasawarsa. Aroma melon yang segar bangkitkan memori itu.

Berpuluh tahun yang lalu, saat masih penasaran dengan dunia MLM, multi level marketing. Disuatu siang yang terik, menghantarkan langkah pada sebuah kunjungan ke rumah salah satu teman temanya tim ku. Janji orang yang akan di prospek ini akan menjadi down line kami tentu sebuah semangat empat lima yang membara. Sehingga tak ada rasa sungkan membelah jalan raya berdebu, ditingkahi udara kering dengan anginnya yang gersang.

Benar saja, saat kami tiba, sambutan tuan rumah yang bersahabat menjadi pertanda bahwa prospek kali ini dengan mudah akan sukses bergabung dengan tim kami. Semua berjalan seperti yang diharapkan. Ia yang seorang tenaga medis dengan mudah memahami produk vitamin C yang kami tawarkan. 

Komposisi penyusun bahan produk pun dengan mudah ia pahami dan ia akui memang lebih baik dari produk yang ada dipasaran. Lega, pasti...deal...iya dong, masa enggak. Hingga gambaran rupiah yang akan ia keluarkan untuk bergabung dengan tim kami pun semakin membuat senyum ini terkembang dengan lega dan bahagia...permisi...dompet temanmu akan bertambah.

Lalu...ia pamit  sebentar, meninggal kan kami berdua. Senyum sumringah kami terasa indah sekali karena merasa berhasil menemukan calon down line yang loyal dan siap bekerja sama dalam tim kami. Tak berapa lama si tuan rumah tiba, dengan dua gelas air minum yang membuat hatiku meronta.

Udara yang gerah, keringat yang muncul malu malu di dahi juga tenggorokan yang tercekat oleh haus dan panas, harus kheki dengan pemandangan yang dihantarkan tuan rumah. Dua gelas air dihantarkan tuan rumah, iya dua gelas air dengan gradasi warna yang begitu mencolok, bening dan hijau. 

Iya, warna bening dan hijau. Sontak Indra pencecap ku meronta. Ia menggedor semua struktur saraf yang telah sangat mendamba pada kuyuran kesejukan.
Beberapa jam telah berlalu, semangat, antusias, jurus jitu dalam menyihir lawan bicara sungguh membuat penat dan menjadikan produk cairan di mulut nyaris menuju titik nadir. Rasa haus dan nyanyian resah tenggoran seolah sebuah bully an perih yang harus aku hadapi.

Cairan bening yang terdiri dalam dua warna di gelas yang transparan itu tidak diaduk. Kedua warna itu dibiarkan pemilik rumah terpisah. Entah apa tujuannya tapi yang jelas, ekspektasi kesegaran yang hendak tercurahkan ke tenggorokan jauh dari yang diharapkan. Tetiba hati rindu pada dia, ia yang ramping kerap menjadi substitusi dari artian sendok yang sebenarnya.
Entah apa alasan tuan rumah tak mengaduk minuman itu sebelum menyajikannya pada kami. Ia pun tak menyediakan sendok untuk kami mengaduk minuman itu. Nanar mata menyibak tiap sudut meja mencoba mencari sedotan plastik, sesapan minuman atau apapun itu namanya. 

Sehingga bisa nikmati kesejukan yang melambai menggoda anak lidah yang sedang merana. Itu pun tak ditemukan.
Ia meletakkan dua gelas air itu tepat dihadapan kami, seolah tak peduli tentang janggal mata yang sedang meronta di mata ini.

Dengan santai dan penuh rasa percaya diri ia mengulas kembali produk dan cara penjualan serta point yang dijanjikan dalam sistem pemasaran produk tersebut. Artinya, secara etika minum sirup ia sama sekali tidak menganggap ada yang tidak benar dari apa yang telah disajikannya pada ku.

Meski setengah menahan rasa, akhirnya isi gelas itu pun masuk dengan hati- hati ke tenggorokan ku. Pelan ku hirup, agar aku tak tersedak pada rasa manis yang begitu vulgar dari sirup yang beraroma melon itu. Keinginan untuk meminjam sendok pun agar bisa mengaduk cairan itupun menguap entah kemana.

Benar saja, yang berhasil masuk ke tenggorokan ku, hanya cairan beningnya saja. Sedangkan, cairan kental hijau berkilau yang manis itu tak sanggup ku telan karena ia terlalu manis bagiku. Aku meringis pilu, sayang...mubazir...pokoknya terlaluuhh.

Udara semakin pengap, waktu terus berlarian mengejar siang. Rasa haus berganti dengan rasa lapar yang mulai bersiap dengan tetabuhannya. Meski lega karena sukses kami siang itu, namun tak bisa kupungkiri rasaku yang koyak karena tak ada pertemuan yang indah antara air sejuk di gelas itu dengan sirup melon meski mereka berada dalam satu gelas yang indah, tragis.

Kami pamit pulang, sepanjang perjalanan tak ingin kubahas kepedihan yang kurasa barusan, tetapi kurasakan ada sesak disudut rasa hausku yang masih belum tertuntaskan, sungguh terlalu.





(Kisah ini kututurkan di Kayu Agung, Ahad, 12 Juni 2022, di suatu siang yang mengejar senja)


Komentar

  1. Ksara yang mengalir bagian musti ,inilah jadi nan enak di baca Bu Susan .semoga sehat dan sukses selalu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin....terimakasih, Pak Rus.....saya Susi, Pak...bukan Susan.

      Hapus
    2. Siap ... Saya Bu Susan pak ...

      Hapus
  2. Aksara tersusun nan kata bagai air mengalir Alim ,Bu Susan sehat dan sukses selalu

    BalasHapus
  3. Oalaaah, aku pernah juga ikut MLM tapi gk bisa nyari downline🥰

    BalasHapus
    Balasan
    1. Asyik dan ngabisin waktu Bu...eh hasilnya ngak sesuai ekspektasi...ya kabur akhirnya,hehe

      Hapus
  4. Waduuh seperti berbaring dihamparan aksara penuh diksi, aku selalu fokus dengan untaian kata bukan untaian cerita hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Padahal ceritanya ngenes lho....terimakasih Bu Ovi

      Hapus
  5. Oalah sya juga pernah aktif di MLM tapi gk bisa nyari downline

    BalasHapus
  6. Dari awal sampai akhir membuat mata terkesima membaca nya uni. Plus minuman nya menggiurkan

    BalasHapus
  7. Dari awal sampai akhir membuat mata terkesima membaca nya uni. Plus minuman nya menggiurkan

    BalasHapus
  8. Hai Hai Hai, aku juga pernah terjun di MLM tapi karena gk bisa nyari downline akhirnya mundur dengan teratur

    BalasHapus
  9. Daan akupun terhanyut keindahan diksi... Huuuf.. mengejar senja dg kepedihan yang di rasa..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bunda...mau komentar nggak ada kolomnya, jd numpang komen disini ya...
      Tulisannya selalu menggoda bagai sirup melon 🍈

      Hapus
    2. Oke....silakan masuk, sirup melon menunggu

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

selamat pagi

Menulislah, karena engkau berharga

Ketika Tidak menjadi Iya Plus Bonus dariNya